SULTENG, PAMORNEWS – Pembangunan kawasan industri nikel di Indonesia, seperti di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, berdampak serius terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitar. Demikian antara lain, hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) berjudul “Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan akibat Paparan PM10, PM2.5, dan SO2 pada Masyarakat Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota” yang menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan. Di Morowali ini ada kawasan industri nikel besar, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Novilyana Onora, dari TuK Indonesia mengatakan, bangun PLTU captive, jadi penyebab utama sulfur dioksida (SO2) cukup tinggi di udara. Penggunaan batubara dengan suhu cukup tinggi juga menyebabkan peningkatan SO2 di udara. Kondisi ini, berdampak buruk bagi kesehatan warga.
Kiki Sanjaya, dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Tadulako mengatakan, temuan mereka bersama TuK Indonesia itu terafirmasi dengan dampak yang sudah dirasakan masyarakat sekitar. Berdasarkan analisis risiko, ketiga parameter pencemar (PM10, PM2.5 dan SO2) menyebabkan risiko kepada masyarakat di kawasan industri nikel.
Dengan temuan itu, meminta peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan di kawasan industri nikel Morowali. Perlu juga ada peningkatan diagnosa dini dan edukasi kesehatan terutama pencegahan penyakit dan gangguan pernapasan. Juga perlu ada kolaborasi antara Dinas Kesehatan dan perusahaan dalam pemeriksaan kesehatan rutin pekerja dan masyarakat.
Pembangunan kawasan industri nikel di Indonesia, seperti di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, berdampak serius terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitar. Demikian hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) berjudul “Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan akibat Paparan PM10, PM2.5, dan SO2 pada Masyarakat Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota” yang menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan. Di Morowali ini ada kawasan industri nikel besar, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Temuan studi ini menyebut, rata-rata konsentrasi PM10, PM2.5, dan SO2 di tiga desa yang jadi obyek penelitian sudah melebihi baku mutu penetapan pemerintah, dan ada risiko kesehatan serius bagi masyarakat.
Proyeksi intake polutan menunjukkan rata-rata responden (warga) melewati batas rekomendasi nilai reference concentration (RfC) setelah 10 tahun terpapar yang mengindikasikan risiko kesehatan tinggi.
Temuan itu menegaskan, perlu segera kebijakan pengendalian pencemaran udara di wilayah itu.
Untuk karakter risiko menunjukkan, ada beberapa responden menandakan risiko kesehatan nyata dan tidak bisa terabaikan. Dampak paling umum, katanya, gangguan pernapasan seperti ISPA, asma, bahkan penyakit paru-paru obstruktif kronis.
Kondisi ini, diperparah fasilitas kesehatan lokal seperti Puskesmas belum memadai. Fenomena ini memperlihatkan kesenjangan serius dalam infrastruktur kesehatan di daerah yang terdampak.
Terlebih lagi, monitoring dan evaluasi terhadap emisi polutan aktivitas pertambangan tidak rutin, hanya sewaktu-waktu. Studi ini melihat, perlu ada reformasi pengawasan lingkungan, terutama pemantauan kualitas udara dan sanksi bagi pelanggar.
Novilyana Onora, dari TuK Indonesia mengatakan, soal kualitas udara, sudah sangat mengkhawatirkan. Dalam sulfur dioksida (SO2) yang seharusnya maksimal 150 (µg/m3) di udara, kini sudah 288,497 (µg/m3).
Penggunaan batubara di PLTU captive, katanya, jadi penyebab utama SO2 cukup tinggi di udara. Penggunaan batubara dengan suhu cukup tinggi juga menyebabkan peningkatan SO2 di udara. Kondisi ini, katanya, berdampak buruk bagi kesehatan warga.
Dari hasil uji, pencemaran air juga terjadi di Sungai Fatuvia dan Sungai Bahodopi karena pembuangan sampah organik dan anorganik di badan sungai.
Penelitian juga menemukan laut Morowali tercemar hingga menyebabkan ekosistem biota laut terganggu. Dia bilang, kandungan timbal pada air laut dapat membahayakan ekosistem karena tidak mudah terurai dan toksik.
Temuan itu, katanya, mengafirmasi soal petani budidaya rumput laut dan nelayan makin terpuruk di laut Morowali. Oksigen di laut Morowali, katanya, tak lagi mencukupi untuk menghidupi biota laut. Terlebih lagi, suhu permukaan laut Morowali mengalami peningkatan signifikan.
Dengan temuan ini, katanya, perlu pengendalian sampah berserakan di sekitar Bahodopi, dan pencegahan sumber polusi dari kendaraan bahan bakar minyak dan batubara dengan kandungan sulfur tinggi.
- Pembangunan kawasan industri nikel di Indonesia, seperti di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, berdampak serius terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitar. Demikian antara lain, hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) berjudul “Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan akibat Paparan PM10,PM2.5, dan SO2 pada Masyarakat Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota” yang menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan. Di Morowali ini ada kawasan industri nikel besar, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
- Novilyana Onora, dari TuK Indonesia mengatakan, bangun PLTU captive, jadi penyebab utama sulfur dioksida (SO2) cukup tinggi di udara. Penggunaan batubara dengan suhu cukup tinggi juga menyebabkan peningkatan SO2 di udara. Kondisi ini, berdampak buruk bagi kesehatan warga.
- Kiki Sanjaya, dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Tadulako mengatakan, temuan mereka bersama TuK Indonesia itu terafirmasi dengan dampak yang sudah dirasakan masyarakat sekitar. Berdasarkan analisis risiko, ketiga parameter pencemar (PM10, PM2.5 dan SO2) menyebabkan risiko kepada masyarakat di kawasan industri nikel.
- Dengan temuan itu, meminta peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan di kawasan industri nikel Morowali. Perlu juga ada peningkatan diagnosa dini dan edukasi kesehatan terutama pencegahan penyakit dan gangguan pernapasan. Juga perlu ada kolaborasi antara Dinas Kesehatan dan perusahaan dalam pemeriksaan kesehatan rutin pekerja dan masyarakat.
Pembangunan kawasan industri nikel di Indonesia, seperti di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, berdampak serius terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitar. Demikian hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) berjudul “Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan akibat Paparan PM10, PM2.5, dan SO2 pada Masyarakat Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota” yang menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan. Di Morowali ini ada kawasan industri nikel besar, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Temuan studi ini menyebut, rata-rata konsentrasi PM10, PM2.5, dan SO2 di tiga desa yang jadi obyek penelitian sudah melebihi baku mutu penetapan pemerintah, dan ada risiko kesehatan serius bagi masyarakat.
Proyeksi intake polutan menunjukkan rata-rata responden (warga) melewati batas rekomendasi nilai reference concentration (RfC) setelah 10 tahun terpapar yang mengindikasikan risiko kesehatan tinggi.
Temuan itu menegaskan, perlu segera kebijakan pengendalian pencemaran udara di wilayah itu.
Untuk karakter risiko menunjukkan, ada beberapa responden menandakan risiko kesehatan nyata dan tidak bisa terabaikan. Dampak paling umum, katanya, gangguan pernapasan seperti ISPA, asma, bahkan penyakit paru-paru obstruktif kronis.
Kondisi ini, diperparah fasilitas kesehatan lokal seperti Puskesmas belum memadai. Fenomena ini memperlihatkan kesenjangan serius dalam infrastruktur kesehatan di daerah yang terdampak.
Terlebih lagi, monitoring dan evaluasi terhadap emisi polutan aktivitas pertambangan tidak rutin, hanya sewaktu-waktu. Studi ini melihat, perlu ada reformasi pengawasan lingkungan, terutama pemantauan kualitas udara dan sanksi bagi pelanggar.
Novilyana Onora, dari TuK Indonesia mengatakan, soal kualitas udara, sudah sangat mengkhawatirkan. Dalam sulfur dioksida (SO2) yang seharusnya maksimal 150 (µg/m3) di udara, kini sudah 288,497 (µg/m3).
Penggunaan batubara di PLTU captive, katanya, jadi penyebab utama SO2 cukup tinggi di udara. Penggunaan batubara dengan suhu cukup tinggi juga menyebabkan peningkatan SO2 di udara. Kondisi ini, katanya, berdampak buruk bagi kesehatan warga.
Dari hasil uji, pencemaran air juga terjadi di Sungai Fatuvia dan Sungai Bahodopi karena pembuangan sampah organik dan anorganik di badan sungai.
Penelitian juga menemukan laut Morowali tercemar hingga menyebabkan ekosistem biota laut terganggu. Dia bilang, kandungan timbal pada air laut dapat membahayakan ekosistem karena tidak mudah terurai dan toksik.
Temuan itu, katanya, mengafirmasi soal petani budidaya rumput laut dan nelayan makin terpuruk di laut Morowali. Oksigen di laut Morowali, katanya, tak lagi mencukupi untuk menghidupi biota laut. Terlebih lagi, suhu permukaan laut Morowali mengalami peningkatan signifikan.
Dengan temuan ini, katanya, perlu pengendalian sampah berserakan di sekitar Bahodopi, dan pencegahan sumber polusi dari kendaraan bahan bakar minyak dan batubara dengan kandungan sulfur tinggi.
“Perlu sistem peringatan dini ketika polutan melebihi ambang batas baku mutu.”
Masyarakat terdampak
Kiki Sanjaya, dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Tadulako mengatakan, temuan mereka bersama TuK Indonesia itu terafirmasi dengan dampak yang sudah dirasakan masyarakat sekitar.
Berdasarkan analisis risiko, ketiga parameter pencemar (PM10, PM2.5 dan SO2) menyebabkan risiko kepada masyarakat di kawasan industri nikel.
“Masyarakat terganggu dengan debu pertambangan dan mengeluhkan kebisingan terutama ketika permintaan bijih Nikel banyak maka mesin beroperasi 24 jam,” kata Kiki.
Bukan hanya itu, katanya, data laporan dari Puskesmas Bahodopi terdapat lonjakan sangat signifikan pada 2023, dengan ISPA mencapai 55.527 kasus. Angka ini, katanya, hampir empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Adapun data ISPA dari data RSUD Morowali, katanya, menunjukkan fluktuasi cukup signifikan dalam kasus ISPA dari tahun ke tahun.
Angka ISPA, katanya, sangat dipengaruhi faktor-faktor eksternal seperti peningkatan polusi udara, perubahan kondisi lingkungan, atau peningkatan deteksi dan pelaporan kasus.
“Situasi ini mungkin jugaterkait peningkatan aktivitas industri atau urbanisasi di Bahodopi yang dapat berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara dan meningkatkan risiko ISPA,” katanya.
Mereka juga menemukan, 372 kasus radang paru-paru (pneumonia) pada usia dewasa, dan 438 kasus pada balita.
Beberapa gejala warga, katanya, berupa batuk (70%), bersin (65%), pilek (53%), sakit kepala (50%), dan sakit tenggorokan (37%).
Pembangunan kawasan industri nikel di Indonesia, seperti di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, berdampak serius terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitar. Demikian antara lain, hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) berjudul “Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan akibat Paparan PM10, PM2.5, dan SO2 pada Masyarakat Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota” yang menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan. Di Morowali ini ada kawasan industri nikel besar, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Novilyana Onora, dari TuK Indonesia mengatakan, bangun PLTU captive, jadi penyebab utama sulfur dioksida (SO2) cukup tinggi di udara. Penggunaan batubara dengan suhu cukup tinggi juga menyebabkan peningkatan SO2 di udara. Kondisi ini, berdampak buruk bagi kesehatan warga.
Kiki Sanjaya, dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Tadulako mengatakan, temuan mereka bersama TuK Indonesia itu terafirmasi dengan dampak yang sudah dirasakan masyarakat sekitar. Berdasarkan analisis risiko, ketiga parameter pencemar (PM10, PM2.5 dan SO2) menyebabkan risiko kepada masyarakat di kawasan industri nikel.
Dengan temuan itu, meminta peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan di kawasan industri nikel Morowali. Perlu juga ada peningkatan diagnosa dini dan edukasi kesehatan terutama pencegahan penyakit dan gangguan pernapasan. Juga perlu ada kolaborasi antara Dinas Kesehatan dan perusahaan dalam pemeriksaan kesehatan rutin pekerja dan masyarakat.
Pembangunan kawasan industri nikel di Indonesia, seperti di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, berdampak serius terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitar. Demikian hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) berjudul “Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan akibat Paparan PM10, PM2.5, dan SO2 pada Masyarakat Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota” yang menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan. Di Morowali ini ada kawasan industri nikel besar, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Temuan studi ini menyebut, rata-rata konsentrasi PM10, PM2.5, dan SO2 di tiga desa yang jadi obyek penelitian sudah melebihi baku mutu penetapan pemerintah, dan ada risiko kesehatan serius bagi masyarakat.
Proyeksi intake polutan menunjukkan rata-rata responden (warga) melewati batas rekomendasi nilai reference concentration (RfC) setelah 10 tahun terpapar yang mengindikasikan risiko kesehatan tinggi.
Temuan itu menegaskan, perlu segera kebijakan pengendalian pencemaran udara di wilayah itu.
Untuk karakter risiko menunjukkan, ada beberapa responden menandakan risiko kesehatan nyata dan tidak bisa terabaikan. Dampak paling umum, katanya, gangguan pernapasan seperti ISPA, asma, bahkan penyakit paru-paru obstruktif kronis.
Kondisi ini, diperparah fasilitas kesehatan lokal seperti Puskesmas belum memadai. Fenomena ini memperlihatkan kesenjangan serius dalam infrastruktur kesehatan di daerah yang terdampak.
Terlebih lagi, monitoring dan evaluasi terhadap emisi polutan aktivitas pertambangan tidak rutin, hanya sewaktu-waktu. Studi ini melihat, perlu ada reformasi pengawasan lingkungan, terutama pemantauan kualitas udara dan sanksi bagi pelanggar.
Novilyana Onora, dari TuK Indonesia mengatakan, soal kualitas udara, sudah sangat mengkhawatirkan. Dalam sulfur dioksida (SO2) yang seharusnya maksimal 150 (µg/m3) di udara, kini sudah 288,497 (µg/m3).
Penggunaan batubara di PLTU captive, katanya, jadi penyebab utama SO2 cukup tinggi di udara. Penggunaan batubara dengan suhu cukup tinggi juga menyebabkan peningkatan SO2 di udara. Kondisi ini, katanya, berdampak buruk bagi kesehatan warga.
Dari hasil uji, pencemaran air juga terjadi di Sungai Fatuvia dan Sungai Bahodopi karena pembuangan sampah organik dan anorganik di badan sungai.
Penelitian juga menemukan laut Morowali tercemar hingga menyebabkan ekosistem biota laut terganggu. Dia bilang, kandungan timbal pada air laut dapat membahayakan ekosistem karena tidak mudah terurai dan toksik.
Temuan itu, katanya, mengafirmasi soal petani budidaya rumput laut dan nelayan makin terpuruk di laut Morowali. Oksigen di laut Morowali, katanya, tak lagi mencukupi untuk menghidupi biota laut. Terlebih lagi, suhu permukaan laut Morowali mengalami peningkatan signifikan.
Dengan temuan ini, katanya, perlu pengendalian sampah berserakan di sekitar Bahodopi, dan pencegahan sumber polusi dari kendaraan bahan bakar minyak dan batubara dengan kandungan sulfur tinggi.
“Perlu sistem peringatan dini ketika polutan melebihi ambang batas baku mutu.”
Masyarakat terdampak
Kiki Sanjaya, dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Tadulako mengatakan, temuan mereka bersama TuK Indonesia itu terafirmasi dengan dampak yang sudah dirasakan masyarakat sekitar.
Berdasarkan analisis risiko, ketiga parameter pencemar (PM10, PM2.5 dan SO2) menyebabkan risiko kepada masyarakat di kawasan industri nikel.
“Masyarakat terganggu dengan debu pertambangan dan mengeluhkan kebisingan terutama ketika permintaan bijih Nikel banyak maka mesin beroperasi 24 jam,” kata Kiki.
Bukan hanya itu, katanya, data laporan dari Puskesmas Bahodopi terdapat lonjakan sangat signifikan pada 2023, dengan ISPA mencapai 55.527 kasus. Angka ini, katanya, hampir empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Adapun data ISPA dari data RSUD Morowali, katanya, menunjukkan fluktuasi cukup signifikan dalam kasus ISPA dari tahun ke tahun.
Angka ISPA, katanya, sangat dipengaruhi faktor-faktor eksternal seperti peningkatan polusi udara, perubahan kondisi lingkungan, atau peningkatan deteksi dan pelaporan kasus.
“Situasi ini mungkin jugaterkait peningkatan aktivitas industri atau urbanisasi di Bahodopi yang dapat berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara dan meningkatkan risiko ISPA,” katanya.
Mereka juga menemukan, 372 kasus radang paru-paru (pneumonia) pada usia dewasa, dan 438 kasus pada balita.
Beberapa gejala warga, katanya, berupa batuk (70%), bersin (65%), pilek (53%), sakit kepala (50%), dan sakit tenggorokan (37%).
Sisi lain, kata Kiki, fasilitas dan pelayanan kesehatan maupun tenaga kesehatan di klinik dan puskesmas belum memadai hingga pelayanan tak maksimal. Padahal, katanya, banyak pasien mengunjungi klinik perusahaan untuk pemeriksaan penyakit.
Belum lagi, ketersediaan obat-obatan lengkap di klinik besar perusahaan, dan puskesmas hanya menyediakan obat generik. Masyarakat yang mau menjangkau layanan kesehatan di Puskesmas alami kendala seperti aksesibilitas dan kapasitas jalan buruk.
“Jalan utama kerap alami kerusakan karena lalu lintas mobil pengangkut. Ini berdampak sulitnya aksesibilitas pada fasilitas pelayanan kesehatan. Kondisi ini menyebabkan akumulasi partikulat debu khusus musim kemarau.”
Untuk aspek lingkungan, kata Kiki, zat polutan dari industri nikel dapat mengakibatkan infrastruktur masyarakat dari seng jadi mudah korosi. Masyarakat sekitar juga merasakan perubahan cuaca setelah ada pertambangan.
Dari aspek sosial, katanya, banyak kasus pembunuhan, perampokan, perselingkuhan, pemerkosaan, perjudian hingga jual beli narkoba di kawasan industri IMIP karena populasi manusia makin bertambah.
Dengan temuan itu, dia meminta ada peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan di kawasan industri nikel Morowali. Perlu juga ada peningkatan diagnosa dini dan edukasi kesehatan terutama pencegahan penyakit dan gangguan pernapasan.
Juga perlu ada kolaborasi antara Dinas Kesehatan dan perusahaan dalam pemeriksaan kesehatan rutin pekerja dan masyarakat.
Menurut dia, transparansi laporan pemeriksaan kesehatan dari perusahaan secara komprehensif bagi pekerja dan pemerintah juga perlu dilakukan.
“Perlu ada relokasi pemukiman masyarakat dengan mengacu pada batas aman parameter pencemar lingkungan (air, udara dan tanah),” katanya.
Kiki juga meminta perlu ada dukungan dan memfasilitasi keterlibatan aktif masyarakat lokal, pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan perusahaan melalui diskusi rutin.
“Juga, harus ada peningkatan pemantauan berwajib mencegah penyebaran penggunaan obat-obatan terlarang, pelecehan seksual, perampokan dan pembunuhan.”
Kalau perusahaan menyalahi aturan, katanya, harus ada penegakan hukum dan sanksi ketat. Pemerintah daerah dan perusahaan juga meningkatkan evaluasi dan pemberian jaminan perlindungan sosial maupun pemberdayaan bagi pekerja dan masyarakat sekitar pertambangan.
“Pengembangan sarana pemantauan kualitas udara secara real-time untuk membantu pemerintah dan industri dalam pengambilan kebijakan serta bentuk peringatan dini bagi masyarakat terdampak,” katanya.
Perlu juga, katanya, peninjauan kembali dokumen rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) oleh instansi terkait serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara rutin. Perlu dilakukan double check kandungan limbah B3 dalam limbah pertambangan sebelum dibuang.
Selain itu, harus ada transparansi dan akuntabilitas data emisi di kawasan industri sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam manajemen lingkungan. Juga perlu menerapkan standar emisi yang tegas dan ketat terhadap industri maupun fasilitas manufaktur.
Pemerintah, katanya, harus memperketat perizinan atau regulasi terkait pembangunan rumah dan sarana prasarana umum di sekitar wilayah industri.
Hal lain, katanya, perlu penyediaan sarana dan prasarana pengolahan sampah serta peningkatan tata kelola di sektor persampahan melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
“Harus ada juga pengembangan infrastruktur transportasi umum sebagai aksesibilitas pekerja maupun masyarakat,” katanya.
Ikut
Energi
Dampak Polusi di Kawasan Industri Nikel Morowali
oleh Sarjan Lahay di 2 October 2024
Pembangunan kawasan industri nikel di Indonesia, seperti di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, berdampak serius terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitar. Demikian antara lain, hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) berjudul “Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan akibat Paparan PM10, PM2.5, dan SO2 pada Masyarakat Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota” yang menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan. Di Morowali ini ada kawasan industri nikel besar, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Novilyana Onora, dari TuK Indonesia mengatakan, bangun PLTU captive, jadi penyebab utama sulfur dioksida (SO2) cukup tinggi di udara. Penggunaan batubara dengan suhu cukup tinggi juga menyebabkan peningkatan SO2 di udara. Kondisi ini, berdampak buruk bagi kesehatan warga.
Kiki Sanjaya, dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Tadulako mengatakan, temuan mereka bersama TuK Indonesia itu terafirmasi dengan dampak yang sudah dirasakan masyarakat sekitar. Berdasarkan analisis risiko, ketiga parameter pencemar (PM10, PM2.5 dan SO2) menyebabkan risiko kepada masyarakat di kawasan industri nikel.
Dengan temuan itu, meminta peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan di kawasan industri nikel Morowali. Perlu juga ada peningkatan diagnosa dini dan edukasi kesehatan terutama pencegahan penyakit dan gangguan pernapasan. Juga perlu ada kolaborasi antara Dinas Kesehatan dan perusahaan dalam pemeriksaan kesehatan rutin pekerja dan masyarakat.
Pembangunan kawasan industri nikel di Indonesia, seperti di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, berdampak serius terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitar. Demikian hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) berjudul “Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan akibat Paparan PM10, PM2.5, dan SO2 pada Masyarakat Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota” yang menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan. Di Morowali ini ada kawasan industri nikel besar, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Temuan studi ini menyebut, rata-rata konsentrasi PM10, PM2.5, dan SO2 di tiga desa yang jadi obyek penelitian sudah melebihi baku mutu penetapan pemerintah, dan ada risiko kesehatan serius bagi masyarakat.
Proyeksi intake polutan menunjukkan rata-rata responden (warga) melewati batas rekomendasi nilai reference concentration (RfC) setelah 10 tahun terpapar yang mengindikasikan risiko kesehatan tinggi.
Temuan itu menegaskan, perlu segera kebijakan pengendalian pencemaran udara di wilayah itu.
Untuk karakter risiko menunjukkan, ada beberapa responden menandakan risiko kesehatan nyata dan tidak bisa terabaikan. Dampak paling umum, katanya, gangguan pernapasan seperti ISPA, asma, bahkan penyakit paru-paru obstruktif kronis.
Kondisi ini, diperparah fasilitas kesehatan lokal seperti Puskesmas belum memadai. Fenomena ini memperlihatkan kesenjangan serius dalam infrastruktur kesehatan di daerah yang terdampak.
Terlebih lagi, monitoring dan evaluasi terhadap emisi polutan aktivitas pertambangan tidak rutin, hanya sewaktu-waktu. Studi ini melihat, perlu ada reformasi pengawasan lingkungan, terutama pemantauan kualitas udara dan sanksi bagi pelanggar.
Novilyana Onora, dari TuK Indonesia mengatakan, soal kualitas udara, sudah sangat mengkhawatirkan. Dalam sulfur dioksida (SO2) yang seharusnya maksimal 150 (µg/m3) di udara, kini sudah 288,497 (µg/m3).
Penggunaan batubara di PLTU captive, katanya, jadi penyebab utama SO2 cukup tinggi di udara. Penggunaan batubara dengan suhu cukup tinggi juga menyebabkan peningkatan SO2 di udara. Kondisi ini, katanya, berdampak buruk bagi kesehatan warga.
Dari hasil uji, pencemaran air juga terjadi di Sungai Fatuvia dan Sungai Bahodopi karena pembuangan sampah organik dan anorganik di badan sungai.
Penelitian juga menemukan laut Morowali tercemar hingga menyebabkan ekosistem biota laut terganggu. Dia bilang, kandungan timbal pada air laut dapat membahayakan ekosistem karena tidak mudah terurai dan toksik.
Temuan itu, katanya, mengafirmasi soal petani budidaya rumput laut dan nelayan makin terpuruk di laut Morowali. Oksigen di laut Morowali, katanya, tak lagi mencukupi untuk menghidupi biota laut. Terlebih lagi, suhu permukaan laut Morowali mengalami peningkatan signifikan.
Dengan temuan ini, katanya, perlu pengendalian sampah berserakan di sekitar Bahodopi, dan pencegahan sumber polusi dari kendaraan bahan bakar minyak dan batubara dengan kandungan sulfur tinggi.
“Perlu sistem peringatan dini ketika polutan melebihi ambang batas baku mutu.”
Masyarakat terdampak
Kiki Sanjaya, dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Tadulako mengatakan, temuan mereka bersama TuK Indonesia itu terafirmasi dengan dampak yang sudah dirasakan masyarakat sekitar.
Berdasarkan analisis risiko, ketiga parameter pencemar (PM10, PM2.5 dan SO2) menyebabkan risiko kepada masyarakat di kawasan industri nikel.
“Masyarakat terganggu dengan debu pertambangan dan mengeluhkan kebisingan terutama ketika permintaan bijih Nikel banyak maka mesin beroperasi 24 jam,” kata Kiki.
Bukan hanya itu, katanya, data laporan dari Puskesmas Bahodopi terdapat lonjakan sangat signifikan pada 2023, dengan ISPA mencapai 55.527 kasus. Angka ini, katanya, hampir empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Adapun data ISPA dari data RSUD Morowali, katanya, menunjukkan fluktuasi cukup signifikan dalam kasus ISPA dari tahun ke tahun.
Angka ISPA, katanya, sangat dipengaruhi faktor-faktor eksternal seperti peningkatan polusi udara, perubahan kondisi lingkungan, atau peningkatan deteksi dan pelaporan kasus.
“Situasi ini mungkin jugaterkait peningkatan aktivitas industri atau urbanisasi di Bahodopi yang dapat berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara dan meningkatkan risiko ISPA,” katanya.
Mereka juga menemukan, 372 kasus radang paru-paru (pneumonia) pada usia dewasa, dan 438 kasus pada balita.
Beberapa gejala warga, katanya, berupa batuk (70%), bersin (65%), pilek (53%), sakit kepala (50%), dan sakit tenggorokan (37%).
Sisi lain, kata Kiki, fasilitas dan pelayanan kesehatan maupun tenaga kesehatan di klinik dan puskesmas belum memadai hingga pelayanan tak maksimal. Padahal, katanya, banyak pasien mengunjungi klinik perusahaan untuk pemeriksaan penyakit.
Belum lagi, ketersediaan obat-obatan lengkap di klinik besar perusahaan, dan puskesmas hanya menyediakan obat generik. Masyarakat yang mau menjangkau layanan kesehatan di Puskesmas alami kendala seperti aksesibilitas dan kapasitas jalan buruk.
“Jalan utama kerap alami kerusakan karena lalu lintas mobil pengangkut. Ini berdampak sulitnya aksesibilitas pada fasilitas pelayanan kesehatan. Kondisi ini menyebabkan akumulasi partikulat debu khusus musim kemarau.”
Untuk aspek lingkungan, kata Kiki, zat polutan dari industri nikel dapat mengakibatkan infrastruktur masyarakat dari seng jadi mudah korosi. Masyarakat sekitar juga merasakan perubahan cuaca setelah ada pertambangan.
Dari aspek sosial, katanya, banyak kasus pembunuhan, perampokan, perselingkuhan, pemerkosaan, perjudian hingga jual beli narkoba di kawasan industri IMIP karena populasi manusia makin bertambah.
Dengan temuan itu, dia meminta ada peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan di kawasan industri nikel Morowali. Perlu juga ada peningkatan diagnosa dini dan edukasi kesehatan terutama pencegahan penyakit dan gangguan pernapasan.
Juga perlu ada kolaborasi antara Dinas Kesehatan dan perusahaan dalam pemeriksaan kesehatan rutin pekerja dan masyarakat.
Menurut dia, transparansi laporan pemeriksaan kesehatan dari perusahaan secara komprehensif bagi pekerja dan pemerintah juga perlu dilakukan.
“Perlu ada relokasi pemukiman masyarakat dengan mengacu pada batas aman parameter pencemar lingkungan (air, udara dan tanah),” katanya.
Kiki juga meminta perlu ada dukungan dan memfasilitasi keterlibatan aktif masyarakat lokal, pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan perusahaan melalui diskusi rutin.
“Juga, harus ada peningkatan pemantauan berwajib mencegah penyebaran penggunaan obat-obatan terlarang, pelecehan seksual, perampokan dan pembunuhan.”
Kalau perusahaan menyalahi aturan, katanya, harus ada penegakan hukum dan sanksi ketat. Pemerintah daerah dan perusahaan juga meningkatkan evaluasi dan pemberian jaminan perlindungan sosial maupun pemberdayaan bagi pekerja dan masyarakat sekitar pertambangan.
“Pengembangan sarana pemantauan kualitas udara secara real-time untuk membantu pemerintah dan industri dalam pengambilan kebijakan serta bentuk peringatan dini bagi masyarakat terdampak,” katanya.
Perlu juga, katanya, peninjauan kembali dokumen rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) oleh instansi terkait serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara rutin. Perlu dilakukan double check kandungan limbah B3 dalam limbah pertambangan sebelum dibuang.
Selain itu, harus ada transparansi dan akuntabilitas data emisi di kawasan industri sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam manajemen lingkungan. Juga perlu menerapkan standar emisi yang tegas dan ketat terhadap industri maupun fasilitas manufaktur.
Pemerintah, katanya, harus memperketat perizinan atau regulasi terkait pembangunan rumah dan sarana prasarana umum di sekitar wilayah industri.
Hal lain, katanya, perlu penyediaan sarana dan prasarana pengolahan sampah serta peningkatan tata kelola di sektor persampahan melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
“Harus ada juga pengembangan infrastruktur transportasi umum sebagai aksesibilitas pekerja maupun masyarakat,” katanya
Nikel di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Morowali sebabkan pencemaran udara dan air berdampak pada Kesehatan masyarakat sekitar. Foto: Walhi Sulteng.
Sejak awal
Pius Ginting, Koordinator Nasional Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengatakan, penelitian TuK Indonesia hampir sama mereka pada 2023. Pembangunan kawasan industri nikel, katanya, memang sejak awal sudah bermasalah.
Penelitian AEER 2023 dengan judul “Rangkaian Pasok Nikel Baterai dari Indonesia dan Persoalan Sosial Ekolog” menyebut, lokasi deep sea tailing placement (DSTP) di kawasan industri nikel di Indonesia, termasuk Morowali terletak di kawasan coral triangle.
Riset itu menyebut, di perairan Morowali setidaknya ada 4.000 hektar terumbu karang hidup. Di Bahodopi, kecamatan di mana IMIP beroperasi, terdapat terumbu karang sekitar 710 hektar, mangrove 92,73 hektar, dan lamun 64,21 hektar.
Di Perairan Bahodopi juga ada 40 jenis karang keras dari 12 famili. Jenis famili terbanyak Acroporidae, Faviidae, Poritidae, Fungiidae, dan Pocilloporidae. Untuk ikan karang, ada 66 jenis dari 17 famili berbeda, terbanyak jenis ikan target dengan famili Acanthuridae dan mayor dengan famili Pomacentridae.
Namun, riset menemukan, sebagian terumbu karang, mangrove dan lamun sudah tergantikan oleh infrastruktur penunjang aktivitas industri di bagian utara IMIP. Selain tumpang tindih dengan kelengkapan infrastruktur IMIP, ketiga biota khas pesisir juga terancam limbah PLTU ke laut.
Walau limbah PLTU buang ke laut bisa melalui surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 259/2018 tentang Izin Pembuangan Air Limbah Ke Laut, tetapi riset ini memperhatkan aktivitas itu berdampak serius terhadap tangkapan nelayan.
Padahal pada 2018, Morowali berkontribusi terhadap 34,12 kiloton tangkapan ikan untuk Sulawesi Tengah, setara 20% tangkapan provinsi. Hasil ini jadikan Morowali sebagai kabupaten dengan produktivitas tangkapan tertinggi di Sulteng senilai Rp 678,9 miliar.
“Ada persoalan pengelolaan lingkungan hidup oleh perusahaan-perusahaan di IMIP ini. “Seharusnya, kalau ada perusahaan yang melanggar, diberikan sanksi tegas,” kata Pius.
Pembangunan kawasan industri nikel di Indonesia, seperti di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, berdampak serius terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitar. Demikian antara lain, hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) berjudul “Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan akibat Paparan PM10, PM2.5, dan SO2 pada Masyarakat Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota” yang menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan. Di Morowali ini ada kawasan industri nikel besar, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Novilyana Onora, dari TuK Indonesia mengatakan, bangun PLTU captive, jadi penyebab utama sulfur dioksida (SO2) cukup tinggi di udara. Penggunaan batubara dengan suhu cukup tinggi juga menyebabkan peningkatan SO2 di udara. Kondisi ini, berdampak buruk bagi kesehatan warga.
Kiki Sanjaya, dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Tadulako mengatakan, temuan mereka bersama TuK Indonesia itu terafirmasi dengan dampak yang sudah dirasakan masyarakat sekitar. Berdasarkan analisis risiko, ketiga parameter pencemar (PM10, PM2.5 dan SO2) menyebabkan risiko kepada masyarakat di kawasan industri nikel.
Dengan temuan itu, meminta peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan di kawasan industri nikel Morowali. Perlu juga ada peningkatan diagnosa dini dan edukasi kesehatan terutama pencegahan penyakit dan gangguan pernapasan. Juga perlu ada kolaborasi antara Dinas Kesehatan dan perusahaan dalam pemeriksaan kesehatan rutin pekerja dan masyarakat.
Proyeksi intake polutan menunjukkan rata-rata responden (warga) melewati batas rekomendasi nilai reference concentration (RfC) setelah 10 tahun terpapar yang mengindikasikan risiko kesehatan tinggi.
Temuan itu menegaskan, perlu segera kebijakan pengendalian pencemaran udara di wilayah itu.
Untuk karakter risiko menunjukkan, ada beberapa responden menandakan risiko kesehatan nyata dan tidak bisa terabaikan. Dampak paling umum, katanya, gangguan pernapasan seperti ISPA, asma, bahkan penyakit paru-paru obstruktif kronis.
Kondisi ini, diperparah fasilitas kesehatan lokal seperti Puskesmas belum memadai. Fenomena ini memperlihatkan kesenjangan serius dalam infrastruktur kesehatan di daerah yang terdampak.
Terlebih lagi, monitoring dan evaluasi terhadap emisi polutan aktivitas pertambangan tidak rutin, hanya sewaktu-waktu. Studi ini melihat, perlu ada reformasi pengawasan lingkungan, terutama pemantauan kualitas udara dan sanksi bagi pelanggar.
Novilyana Onora, dari TuK Indonesia mengatakan, soal kualitas udara, sudah sangat mengkhawatirkan. Dalam sulfur dioksida (SO2) yang seharusnya maksimal 150 (µg/m3) di udara, kini sudah 288,497 (µg/m3).
Penggunaan batubara di PLTU captive, katanya, jadi penyebab utama SO2 cukup tinggi di udara. Penggunaan batubara dengan suhu cukup tinggi juga menyebabkan peningkatan SO2 di udara. Kondisi ini, katanya, berdampak buruk bagi kesehatan warga.
Dari hasil uji, pencemaran air juga terjadi di Sungai Fatuvia dan Sungai Bahodopi karena pembuangan sampah organik dan anorganik di badan sungai.
Penelitian juga menemukan laut Morowali tercemar hingga menyebabkan ekosistem biota laut terganggu. Dia bilang, kandungan timbal pada air laut dapat membahayakan ekosistem karena tidak mudah terurai dan toksik.
Temuan itu, katanya, mengafirmasi soal petani budidaya rumput laut dan nelayan makin terpuruk di laut Morowali. Oksigen di laut Morowali, katanya, tak lagi mencukupi untuk menghidupi biota laut. Terlebih lagi, suhu permukaan laut Morowali mengalami peningkatan signifikan.
Dengan temuan ini, katanya, perlu pengendalian sampah berserakan di sekitar Bahodopi, dan pencegahan sumber polusi dari kendaraan bahan bakar minyak dan batubara dengan kandungan sulfur tinggi.
“Perlu sistem peringatan dini ketika polutan melebihi ambang batas baku mutu.”
Masyarakat terdampak
Kiki Sanjaya, dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Tadulako mengatakan, temuan mereka bersama TuK Indonesia itu terafirmasi dengan dampak yang sudah dirasakan masyarakat sekitar.
Berdasarkan analisis risiko, ketiga parameter pencemar (PM10, PM2.5 dan SO2) menyebabkan risiko kepada masyarakat di kawasan industri nikel.
“Masyarakat terganggu dengan debu pertambangan dan mengeluhkan kebisingan terutama ketika permintaan bijih Nikel banyak maka mesin beroperasi 24 jam,” kata Kiki.
Bukan hanya itu, katanya, data laporan dari Puskesmas Bahodopi terdapat lonjakan sangat signifikan pada 2023, dengan ISPA mencapai 55.527 kasus. Angka ini, katanya, hampir empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Adapun data ISPA dari data RSUD Morowali, katanya, menunjukkan fluktuasi cukup signifikan dalam kasus ISPA dari tahun ke tahun.
Angka ISPA, katanya, sangat dipengaruhi faktor-faktor eksternal seperti peningkatan polusi udara, perubahan kondisi lingkungan, atau peningkatan deteksi dan pelaporan kasus.
“Situasi ini mungkin jugaterkait peningkatan aktivitas industri atau urbanisasi di Bahodopi yang dapat berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara dan meningkatkan risiko ISPA,” katanya.
Mereka juga menemukan, 372 kasus radang paru-paru (pneumonia) pada usia dewasa, dan 438 kasus pada balita.
Beberapa gejala warga, katanya, berupa batuk (70%), bersin (65%), pilek (53%), sakit kepala (50%), dan sakit tenggorokan (37%).
Sisi lain, kata Kiki, fasilitas dan pelayanan kesehatan maupun tenaga kesehatan di klinik dan puskesmas belum memadai hingga pelayanan tak maksimal. Padahal, katanya, banyak pasien mengunjungi klinik perusahaan untuk pemeriksaan penyakit.
Belum lagi, ketersediaan obat-obatan lengkap di klinik besar perusahaan, dan puskesmas hanya menyediakan obat generik. Masyarakat yang mau menjangkau layanan kesehatan di Puskesmas alami kendala seperti aksesibilitas dan kapasitas jalan buruk.
“Jalan utama kerap alami kerusakan karena lalu lintas mobil pengangkut. Ini berdampak sulitnya aksesibilitas pada fasilitas pelayanan kesehatan. Kondisi ini menyebabkan akumulasi partikulat debu khusus musim kemarau.”
Untuk aspek lingkungan, kata Kiki, zat polutan dari industri nikel dapat mengakibatkan infrastruktur masyarakat dari seng jadi mudah korosi. Masyarakat sekitar juga merasakan perubahan cuaca setelah ada pertambangan.
Dari aspek sosial, katanya, banyak kasus pembunuhan, perampokan, perselingkuhan, pemerkosaan, perjudian hingga jual beli narkoba di kawasan industri IMIP karena populasi manusia makin bertambah.
Dengan temuan itu, dia meminta ada peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan di kawasan industri nikel Morowali. Perlu juga ada peningkatan diagnosa dini dan edukasi kesehatan terutama pencegahan penyakit dan gangguan pernapasan.
Juga perlu ada kolaborasi antara Dinas Kesehatan dan perusahaan dalam pemeriksaan kesehatan rutin pekerja dan masyarakat.
Menurut dia, transparansi laporan pemeriksaan kesehatan dari perusahaan secara komprehensif bagi pekerja dan pemerintah juga perlu dilakukan.
“Perlu ada relokasi pemukiman masyarakat dengan mengacu pada batas aman parameter pencemar lingkungan (air, udara dan tanah),” katanya.
Kiki juga meminta perlu ada dukungan dan memfasilitasi keterlibatan aktif masyarakat lokal, pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan perusahaan melalui diskusi rutin.
“Juga, harus ada peningkatan pemantauan berwajib mencegah penyebaran penggunaan obat-obatan terlarang, pelecehan seksual, perampokan dan pembunuhan.”
Kalau perusahaan menyalahi aturan, katanya, harus ada penegakan hukum dan sanksi ketat. Pemerintah daerah dan perusahaan juga meningkatkan evaluasi dan pemberian jaminan perlindungan sosial maupun pemberdayaan bagi pekerja dan masyarakat sekitar pertambangan.
“Pengembangan sarana pemantauan kualitas udara secara real-time untuk membantu pemerintah dan industri dalam pengambilan kebijakan serta bentuk peringatan dini bagi masyarakat terdampak,” katanya.
Perlu juga, katanya, peninjauan kembali dokumen rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) oleh instansi terkait serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara rutin. Perlu dilakukan double check kandungan limbah B3 dalam limbah pertambangan sebelum dibuang.
Selain itu, harus ada transparansi dan akuntabilitas data emisi di kawasan industri sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam manajemen lingkungan. Juga perlu menerapkan standar emisi yang tegas dan ketat terhadap industri maupun fasilitas manufaktur.
Pemerintah, katanya, harus memperketat perizinan atau regulasi terkait pembangunan rumah dan sarana prasarana umum di sekitar wilayah industri.
Hal lain, katanya, perlu penyediaan sarana dan prasarana pengolahan sampah serta peningkatan tata kelola di sektor persampahan melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
“Harus ada juga pengembangan infrastruktur transportasi umum sebagai aksesibilitas pekerja maupun masyarakat,” katanya.
Nikel di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Morowali sebabkan pencemaran udara dan air berdampak pada Kesehatan masyarakat sekitar. Foto: Walhi Sulteng.
Pius Ginting, Koordinator Nasional Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengatakan, penelitian TuK Indonesia hampir sama mereka pada 2023. Pembangunan kawasan industri nikel, katanya, memang sejak awal sudah bermasalah.
Penelitian AEER 2023 dengan judul “Rangkaian Pasok Nikel Baterai dari Indonesia dan Persoalan Sosial Ekolog” menyebut, lokasi deep sea tailing placement (DSTP) di kawasan industri nikel di Indonesia, termasuk Morowali terletak di kawasan coral triangle.
Riset itu menyebut, di perairan Morowali setidaknya ada 4.000 hektar terumbu karang hidup. Di Bahodopi, kecamatan di mana IMIP beroperasi, terdapat terumbu karang sekitar 710 hektar, mangrove 92,73 hektar, dan lamun 64,21 hektar.
Di Perairan Bahodopi juga ada 40 jenis karang keras dari 12 famili. Jenis famili terbanyak Acroporidae, Faviidae, Poritidae, Fungiidae, dan Pocilloporidae. Untuk ikan karang, ada 66 jenis dari 17 famili berbeda, terbanyak jenis ikan target dengan famili Acanthuridae dan mayor dengan famili Pomacentridae.
Namun, riset menemukan, sebagian terumbu karang, mangrove dan lamun sudah tergantikan oleh infrastruktur penunjang aktivitas industri di bagian utara IMIP. Selain tumpang tindih dengan kelengkapan infrastruktur IMIP, ketiga biota khas pesisir juga terancam limbah PLTU ke laut.
Walau limbah PLTU buang ke laut bisa melalui surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 259/2018 tentang Izin Pembuangan Air Limbah Ke Laut, tetapi riset ini memperhatkan aktivitas itu berdampak serius terhadap tangkapan nelayan.
Padahal pada 2018, Morowali berkontribusi terhadap 34,12 kiloton tangkapan ikan untuk Sulawesi Tengah, setara 20% tangkapan provinsi. Hasil ini jadikan Morowali sebagai kabupaten dengan produktivitas tangkapan tertinggi di Sulteng senilai Rp 678,9 miliar.
“Ada persoalan pengelolaan lingkungan hidup oleh perusahaan-perusahaan di IMIP ini. “Seharusnya, kalau ada perusahaan yang melanggar, diberikan sanksi tegas,” kata Pius.
Upaya pemerintah daerah?
Baso Nur Ali, Kepala Seksi Perencanaan Pengkajian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Sulteng, mengatakan, temuan riset TuK Indonesia bersama FKM Universitas Tadulako merupakan informasi sangat berharga untuk pemerintah.
Meski begitu, kata Baso, mereka sudah membuat berbagai kebijakan baik dari segi pengendalian air, sampai udara tetapi belum efektif.
Dengan temuan ini, katanya, mereka akan berupaya agar regulasi terlaksana maksimal.
Pemerintah daerah, kata Baso, akan berupaya memperbaharui daya dukung dan daya tampung lingkungan di kawasan industri nikel IMIP untuk menjadi rujukan pengelolaan lingkungan. Dia bilang, investasi harus berjalan dengan konsep ekonomi, sosial, dan lingkungan.
“Dengan temuan ini, memberikan gambaran jelas bahwa lingkungan belum mendapatkan porsi sebagaimana mestinya. Kami akan menerapkan semaksimal mungkin regulasi secara bertahap.”
Dalam jangka pendek, kata Baso, mereka akan memperkuat dan mempertegas terkait baku mutu pembuangan air limbah dan emisi karena merupakan kewajiban perusahaan. Dia akan mendesak perusahaan menerapkan teknologi pengendali air dan udara yang lebih efektif.
Baso bilang, sudah beberapa kali membuat rapat lintas sektor, termasuk dengan pemerintah pusat membahas penataan ruang di kawasan Industri nikel. Penataan ruang di Morowali, katanya, tidak sesuai semestinya. Ada kawasan industri nikel di Morowali dia ibaratkan seperti “bayi lahir prematur.’
“Secara teknis, pasti kita akan melakukan evaluasi tentang daya tampung dan daya dukung lingkungan serta mempertegas terkait regulasi baku mutu.”
Sumber: https://www.mongabay.co.id/2024/10/02/dampak-polusi-di-kawasan-industri-nikel-morowali/