Antara Semangat Akuntabilitas dan Ancaman Kegaduhan Publik
citizen reporter : andra
PALOPO – Kebijakan Wali Kota Palopo yang menarik kewenangan pencairan anggaran daerah secara sentralistik melalui Surat Edaran (SE) kini menjadi bola panas.

Dibalik niat pemerintah untuk mencegah belanja Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang dianggap ‘ugal-ugalan’ dan meningkatkan akuntabilitas, kebijakan ini justru memicu polemik sengit, menghambat birokrasi, dan mengancam kegaduhan publik.
Puncak dari perdebatan ini terkuak dalam Dialog Publik yang digagas oleh Gerakan Anak Muda Palopo (Ampo Palopo), yang mempertemukan akademisi, eksekutif, dan legislatif dalam satu ruang klarifikasi.
Alarm dari Ruang Diskusi: Bahaya ‘One Gate Policy’
Kandidat Doktor Ekonomi Pembangunan , Afrianto, tampil sebagai narasumber kunci yang secara tegas menyuarakan alarm bahaya. Ia menyebut kegaduhan yang terjadi adalah konsekuensi logis dari kebijakan yang “langsung dilempar” tanpa melalui diskusi mendalam dan pelibatan pemangku kepentingan.
”Kebijakan sentralistik seperti ini, apalagi yang diatur hanya melalui Surat Edaran, dikhawatirkan akan memperlambat pengambilan keputusan karena menumpuk di satu pintu. Ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah,” tegas Afrianto.
Kritik Afrianto juga menepis anggapan bahwa suara sumbang datang dari pihak yang ingin mempertahankan status quo atau “sudah nyaman di pemerintahan sebelumnya.” Menurutnya, tidak ada urusan dengan pemerintahan sebelumnya , kritik adalah fungsi kontrol dan bukti kecintaan warga terhadap pemerintahnya, yang seharusnya mempermudah tugas pengawasan oleh legislatif.
Dilema Akuntabilitas Versus Efisiensi
Di sisi lain, perwakilan Eksekutif—diwakili oleh Plt Kabid Anggaran Imam Darmawan —berupaya menjelaskan landasan teknis kebijakan. Sentralisasi pengambilan keputusan ini diklaim sebagai langkah strategis dan rasional untuk meminimalisir pengeluaran belanja daerah yang tidak terencana dan meningkatkan transparansi, terutama pasca temuan penurunan pendapatan daerah. Itupun katanya fungsinya lebih pada monitoring.
Namun, semangat akuntabilitas ini mendapat tantangan keras dari pihak Legislatif. Alfri, salah satu legislator, menyoroti bahwa kebijakan Surat Edaran (SE) Kepala Daerah tersebut dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat (legal standing). Kekhawatiran ini sejalan dengan pandangan akademisi lain yang menyebut kebijakan ‘SP2D wajib Walikota’ sebagai ‘jebakan politik’ yang berpotensi melanggar mekanisme keuangan daerah yang sudah diatur.
Menggugat Peran Pengawasan, peserta diskusi
secara khusus menyoroti peran DPRD yang seharusnya menjadi penyeimbang pemerintah. Suara pemuda ini mendesak para wakil rakyat untuk kembali menjalankan fungsi kontrol/pengawasan secara maksimal, alih-alih justru membungkam kritik masyarakat.
Kini, kebijakan sentralisasi pencairan anggaran di Palopo berdiri di persimpangan jalan—antara dorongan untuk akuntabilitas total dan risiko perlambatan birokrasi serta kegaduhan publik.
Akademisi dan aktivis percaya, polemik ini pada akhirnya harus diselesaikan dengan kembali ke meja aturan untuk mengklarifikasi dasar hukum dan memastikan efisiensi birokrasi tetap berjalan tanpa mengorbankan partisipasi publik.
Dialog publik ini diharapkan menjadi langkah awal yang penting bagi Pemkot Palopo untuk membuka diri, mengklarifikasi kebijakan, dan melibatkan pemuda dalam mengawal masa depan anggaran daerah.(***)











