PALOPO, PAMORNEWS – Di tengah arus modernisasi dan tantangan pelestarian budaya lokal, sebuah kisah inspiratif datang dari SMA Frater Palopo. Sekolah yang mayoritas tenaga pendidiknya—para Frater—berasal dari luar Luwu, ini menunjukkan komitmen luar biasa dalam merangkul dan menghargai Budaya Tana Luwu.
Kesan mendalam ini datang langsung dari tokoh sentral dalam pelestarian adat Luwu, yaitu Sharma Hadeyang, Ketua Yayasan Sekolah Budaya Luwu (SBL) I La Galigo.
SMA Frater, Satu-satunya yang Mengundang
Sharma Hadeyang, seorang aktivis budaya yang selama ini berjuang menjaga warisan leluhur, mengungkapkan apresiasi tulusnya terhadap SMA Frater Palopo.
Menurutnya, sekolah tersebut mencatatkan diri sebagai satu-satunya institusi pendidikan yang secara resmi dan proaktif mengundangnya sebagai narasumber untuk berbagi pengetahuan tentang Budaya Luwu kepada para siswa dan staf.
“Sungguh sebuah kehormatan dan kebanggaan,” ujar Sharma Hadeyang.
“Selama ini saya berkeliling, berjuang untuk adat dan budaya kita, tetapi baru kali ini ada sekolah yang didominasi oleh Frater dari luar Luwu yang menunjukkan inisiatif sebesar ini. Mereka bukan hanya menerima, tetapi mencari tahu dan ingin mengajarkan budaya Luwu di lingkungan sekolah mereka sendiri.”
Aksi nyata ini seolah menjadi oase di tengah kekhawatiran banyak pihak akan semakin terkikisnya nilai-nilai lokal di kalangan generasi muda.
Penghargaan Tulus dari Para “Perantau”
Inti dari kisah ini terletak pada latar belakang unik para pengajar. Rata-rata Frater yang bertugas dan mengelola SMA Frater Palopo berasal dari berbagai daerah di luar Tana Luwu. Secara kultural, mereka adalah “perantau” yang membawa tradisi dan latar belakang mereka sendiri.
Namun, alih-alih hanya berpegang pada budaya asal, mereka menunjukkan sikap sipakatau (saling menghargai) terhadap bumi tempat mereka mengabdi.
“Frater-frater ini, meskipun bukan orang Luwu, mereka sangat menghargai dan menjunjung tinggi budaya Luwu. Ini adalah pelajaran penting bagi kita semua, bahwa penghargaan terhadap kearifan lokal tidak mengenal batas suku atau asal daerah,” tambah Sharma.
Menjadi Simbol Toleransi dan Pelestarian
Keterlibatan SMA Frater Palopo tidak hanya berhenti pada undangan. Sekolah ini dipercaya telah mengintegrasikan pemahaman tentang Budaya Luwu dalam kegiatan dan kurikulumnya.
Langkah ini menjadikan SMA Frater Palopo bukan hanya sebagai tempat untuk menimba ilmu akademik, tetapi juga sebagai simbol toleransi dan harmonisasi budaya.
Sekolah ini membuktikan bahwa institusi pendidikan, terlepas dari latar belakang yayasan atau pengajarnya, memiliki peran krusial sebagai agen pelestarian budaya lokal. Ini adalah model ideal bagaimana pendidikan dan budaya lokal dapat berjalan beriringan untuk membentuk karakter siswa yang berakar kuat pada tradisi, namun tetap terbuka terhadap keragaman.(***)











