PALOPO – Isu mengenai warisan sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan kembali mengemuka di kalangan masyarakat, didorong oleh perhatian tokoh-tokoh lokal.
Palopo, sebagai bagian dari Tana Luwu yang bersejarah, memiliki ikatan kuat dengan narasi awal mula masuknya Islam di wilayah ini, sebuah kisah yang tak terpisahkan dari peran sentral tiga ulama legendaris yang dikenal sebagai Dato’ Tallu (Tiga Datuk).

Tiga serangkai ini, yang berasal dari Minangkabau, bukanlah sekadar penyebar agama, melainkan arsitek peradaban yang mengubah lanskap sosial dan politik Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17.
Kedatangan mereka menandai era baru, mengubah kerajaan-kerajaan animisme menjadi pusat-pusat peradaban Islam.
Tiga Pilar Dakwah: Dari Luwu hingga Gowa-Tallo
Dato’ Tallu terdiri dari:
Dato’ Patimang (Syeikh Sulaiman Khatib Sulung): Beliau memegang peran krusial dalam mengislamkan Kedatuan Luwu, wilayah yang kini mencakup Palopo dan sekitarnya.
Keberhasilannya mengislamkan Datu Luwu, La Patiware, pada tahun 1603 Masehi sering disebut sebagai tonggak awal Islamisasi Luwu dan salah satu yang pertama di Sulawesi Selatan.
Dato’ ri Bandang (Syeikh Abdul Makmur Khatib Tunggal): Beliau fokus menyebarkan syariat dan fikih di Kerajaan Gowa dan Tallo (Makassar).
Keberhasilannya mengislamkan Raja Tallo, kemudian Raja Gowa (Sultan Alauddin), menjadi kunci penyebaran Islam ke seluruh pelosok Sulawesi.
Dato’ ri Tiro (Syeikh Abdul Jawad Khatib Bungsu): Beliau dikenal sebagai penyebar ajaran tasawuf dan tarekat di wilayah selatan, yaitu Tiro (kini Bulukumba).
Jejak Dato’ Patimang di Tana Luwu sangat mendalam. Makam beliau yang berada di Desa Patimang, Kabupaten Luwu, hingga kini menjadi situs ziarah dan pengingat akan perjuangan dakwah yang dilakukan tanpa pertumpahan darah, melainkan melalui pendekatan kultural dan dialog keagamaan.
Warisan yang Harus Terjaga
Bagi masyarakat Luwu, kisah Dato’ Patimang dan Dato’ Tallu adalah identitas. Tokoh masyarakat Palopo, dr. H. Abubakar Malinta, dalam unggahannya di medsosnya , mengangkat isu pentingnya menjaga dan merawat warisan sejarah ini. Dalam pandangannya, pengenalan terhadap para penyebar Islam bukan sekadar mengenang, melainkan menjadi motivasi untuk melanjutkan nilai-nilai keislaman dan disiplin dalam bermasyarakat.
”Sejarah ini adalah fondasi. Kita tidak bisa bicara peradaban Luwu dan Palopo tanpa menyebut Dato’ Patimang. Mereka mengajarkan kita tentang strategi dakwah yang santun, yang mengedepankan akal dan hati,” ungkap Firman, pemuka masyarakat lokal yang fokus pada kajian Islam di Luwu.
Feature ini mengajak masyarakat, terutama generasi muda Palopo, untuk tidak melupakan akar sejarah ini.
Mengingat dan menghormati Dato’ Tallu, khususnya Dato’ Patimang, berarti menghargai proses panjang masuknya cahaya Islam yang kini menjadi pegangan mayoritas penduduk Sulawesi Selatan.
Warisan mereka adalah pengingat abadi bahwa perubahan besar seringkali dimulai dari ketekunan, ilmu, dan keikhlasan.(***)








