Essaiku :
Ketika Donasi Ummat Abai Nasib “Preman Insyaf’

PAGI yang seharusnya tenang, dirobek oleh unggahan di media sosial. Seorang pria yang dikenal dengan status amar ma’ruf nahi munkar dan kisah hijrahnya dari dunia preman, kini terpajang di foto, dikelilingi gelas berisi ballo. Kejutan itu bukan hanya tentang kejatuhan individu, melainkan kegagalan kolektif. Kami, para pengagum, shock.
Namun, kini muncul pertanyaan yang jauh lebih mendasar: Di mana peran komunitas, ketika idealisme seorang pejuang hijrah diuji oleh kebutuhan perut?
Penderitaan Senyap di Balik Label “Hijrah”
Kisah “eks-preman” ini adalah cerminan dari tantangan besar yang dihadapi kaum muhajirin baru. Hijrah seringkali diartikan sebatas perubahan spiritual, meninggalkan dosa, dan mengganti penampilan. Sementara itu, dimensi krusial lainnya—ekonomi dan sosial—seringkali diabaikan.
Seorang eks-preman yang tulus ingin berubah, umumnya meninggalkan mata pencaharian lamanya yang gelap ( keamanan ilegal, dll.). Lantas, apa gantinya?
Komunitas seringkali hanya merevokasi dengan wejangan dan doa. Namun, bagi kepala keluarga, wejangan tidak bisa membayar sewa kontrakan, dan doa tidak mengisi piring anak-anak. Latar belakang ‘preman’ membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan formal. Stigma melekat kuat.
Dalam keheningan perjuangannya, pria ini mungkin berhadapan dengan dilema: Mempertahankan idealisme hijrah sambil melihat keluarga kelaparan, atau “kembali ke laptop” (kembali ke cara lama) demi memastikan dapur tetap berasap.
Donasi Masjid (sedekah) dan Kealpaan Membuka Gerbang Rezeki
Inilah kritik paling fundamental: Sumbangan donasi dan zakat yang dikelola oleh masjid-masjid dan lembaga agama kerap mengalir deras, namun terkesan jauh dari skema pemberdayaan yang konkret.
Mengapa para pemuka agama dan pengurus masjid terkesan abai?
Mereka tidak berpikir bahwa asnaf (golongan penerima) zakat, terutama gharimin (orang yang terlilit utang) atau sabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah), sangat relevan dengan eks-preman yang sedang berjuang menafkahi keluarga secara halal.
Pertanyaan fundamentalnya: Apakah sumbangan dana umat, yang totalnya tidak sedikit, tidak bisa dialokasikan untuk sekadar memberikan modal usaha kecil? Gerobak, modal warung kopi, atau keterampilan teknis?
Jika skema modal ini tidak terjadi, maka kepulangan sang preman insyaf ke ballo atau ke jalanan adalah sebuah keniscayaan.
”Jika hanya iman yang diurus, dan perut dibiarkan kosong, maka setan akan masuk melalui pintu yang paling lapang: pintu kebutuhan. Kami tidak butuh doa pasif, kami butuh ‘doa’ berbentuk modal usaha.”










