[ feature human interest]
Kisah Mbah Kerto, Petani di Pelosok Jawa Jadi Miliarder di Umur 103 Tahun

Di tengah kabut tebal yang menyelimuti pegunungan Ranupane, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, sosok sepuh bernama Mbah Kerto menjadi perbincangan banyak orang.
Usianya sudah mencapai 103 tahun, namun tenaga dan semangatnya masih seolah dimiliki oleh pria setengah abad lebih muda darinya. Setiap pagi, sebelum matahari muncul di balik Gunung Semeru, Mbah Kerto sudah turun ke ladang, menenteng cangkul, memeriksa tanah, dan mengatur irigasi tanamannya.
Pemandangan ini sudah biasa. Yang luar biasa adalah, Mbah Kerto—petani yang tak pernah meninggalkan Ranupane—kini diyakini memiliki aset pertanian yang nilainya mencapai miliaran rupiah.
Berawal dari “Emas Hijau” Lereng Semeru
Kekayaan Mbah Kerto bukan datang dari warisan atau keberuntungan semalam. Hartanya tumbuh dari kesabaran yang disiram keringat di ladang seluas 15 hektar yang ia kelola sejak muda. Komoditas utamanya bukanlah sayuran biasa, melainkan Kentang Granola dan Bawang Prei varietas lokal yang tumbuh subur di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut.
”Tanah di sini dingin dan subur. Tanah itu seperti istri saya. Kalau dirawat dengan jujur, dia akan memberi anak yang baik,” ujar Mbah Kerto dengan suara parau namun tegas, sambil menunjuk petak ladang yang hijau membentang.
Mbah Kerto mempertahankan metode tanam organik warisan leluhur. Ia menolak penggunaan pupuk kimia berlebihan dan memilih pupuk kandang.
Hasilnya? Produk pertanian Mbah Kerto memiliki kualitas dan rasa yang unggul. Dalam lima tahun terakhir, permintaan melonjak tajam. Kentang dan Bawang Prei dari ladangnya kini secara rutin dibeli oleh distributor sayuran premium yang memasok ke pasar swalayan besar dan hotel bintang lima di Jakarta, Surabaya, bahkan diekspor ke Singapura.
Miliarder yang Tetap Membawa Cangkul
Meskipun laporan kekayaan bersihnya kini melampaui tetangga-tetangganya, gaya hidup Mbah Kerto sama sekali tidak berubah. Ia masih tinggal di rumah kayu sederhana di desa, tempat ia membesarkan anak dan cucunya.
”Warga desa sempat terheran-heran. Kami pikir, setelah kaya, Mbah Kerto akan membeli mobil mewah atau pindah ke kota,” tutur Kepala Desa Ranupane, Bapak Ahmad.
“Tapi beliau tetap sama. Pakaiannya baju lusuh dan sarung yang itu-itu saja. Uangnya tidak dipakai untuk pesta, tapi untuk membeli traktor baru yang ia pinjamkan gratis ke petani muda dan untuk membangun ulang masjid desa.”
Kontras inilah yang membuat kisah Mbah Kerto begitu menginspirasi.
Ia memiliki rekening bank berisi jutaan, namun ia masih lebih nyaman membawa bekal nasi dan sambal dari rumah ke ladang. Ia tidak menggunakan ponsel pintar, sebab baginya, berkomunikasi dengan alam dan tanah jauh lebih penting.
Rahasia Panjang Umur: Jangan Pernah Malas
Ketika ditanya mengenai rahasia umur panjang dan kesuksesannya, Mbah Kerto hanya tersenyum menampakkan giginya yang sudah banyak ompong.
”Rahasia saya gampang. Jangan pernah bohong, jangan pernah malas. Tangan ini harus capek. Kalau kita malas, rezeki juga malas datang. Yang penting itu melihat ladang hijau, itu sudah bikin hati saya kaya,” katanya.
Mbah Kerto mengajarkan bahwa kemakmuran sejati tidak diukur dari kemewahan yang dipamerkan, melainkan dari kedamaian hati dan kemampuannya untuk berbagi. Di usia yang melampaui seabad, ia membuktikan bahwa gelar miliarder tidak harus datang dari gedung-gedung tinggi, melainkan bisa lahir dari tanah basah Ranupane, dari tangan yang kasar karena cangkul, dan dari hati yang tetap membumi.
Kisah Mbah Kerto adalah pengingat abadi bahwa ketekunan, kejujuran, dan kesetiaan pada profesi, meskipun hanya sebagai petani di pelosok, adalah resep sejati menuju kemakmuran dan kehormatan. (*)










