PALOPO, PAMORNEWS —Langkah Wali Kota Palopo untuk ‘menertibkan’ birokrasi keuangan daerah justru memicu kegaduhan. Sebuah Surat Edaran (SE) terkait mekanisme penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) menuai badai kritik dari gedung legislatif, yang menuding kebijakan sentralisasi dana ini sebagai langkah terburu-buru, minim kajian, dan berpotensi melanggar hukum di atasnya.

Polemik ini bukan sekadar urusan administrasi, melainkan cerminan ketegangan antara niat untuk mengendalikan anggaran versus kepatuhan pada hierarki peraturan perundang-undangan.
Sentralisasi yang Digugat Legislatif
Isu ini mencuat ke permukaan setelah Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Palopo dari Fraksi Golkar, Muh. Bastam, melancarkan sindiran tajam. Bastam menilai SE Wali Kota tersebut ibarat ‘membuat aturan baru di atas aturan yang sudah jelas’.
Menurutnya, mekanisme pengelolaan keuangan daerah—mulai dari pengajuan hingga pencairan—telah diatur secara berlapis dalam berbagai payung hukum, termasuk UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020.
“Pengelolaan keuangan daerah tidak cukup dengan niat baik. Harus ada dasar aturan dan output yang jelas,” tegas Bastam, Jumat
Inti kegaduhan terletak pada dugaan bahwa SE ini berupaya menyentralisasi atau menambah prosedur dalam penerbitan SP2D. Padahal, sesuai regulasi, penerbitan SPM (Surat Perintah Membayar) cukup dilakukan oleh pengguna anggaran di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), sementara SP2D menjadi kewenangan Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) atau Kuasa Bendahara Umum Daerah (BUD).
“Prosedur penerbitan SPM itu cukup dilakukan oleh pengguna anggaran di tiap SKPD… Jadi, untuk apa lagi dibuat aturan baru?” — Muh. Bastam.
Kekeliruan di Mata Hukum dan Tata Naskah Dinas
Kritik Bastam tidak hanya menyentuh substansi, tetapi juga formalitas. Ia menyoroti kesalahan penulisan kata dalam surat edaran itu sendiri—menulis “pencarian” alih-alih “pencairan” dana—sebagai indikasi dari sebuah kebijakan yang digarap tergesa-gesa.
Secara hukum, Bastam menilai Wali Kota keliru memahami kedudukan surat edaran. Mengacu pada Permendagri Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Naskah Dinas, sebuah surat edaran hanyalah pedoman internal.
“Kalau mau tertib administrasi, pahami dulu tata naskah dinas. Jangan sampai surat edaran justru menabrak aturan yang ingin ditegakkan,” ujarnya.
Surat edaran, lanjutnya, tidak boleh menyimpang, menambah, atau mengubah substansi dari peraturan yang lebih tinggi. Upaya menertibkan administrasi justru berpotensi besar melanggar hierarki hukum.
Fokus Kebijakan yang Keliru
Selain kritik hukum dan teknis, Bastam juga menyampaikan sindiran keras mengenai prioritas kepemimpinan. Menurutnya, energi kepala daerah dan tim hukumnya kini terbuang untuk mengurusi hal-hal teknis yang sudah jelas pendelegasian kewenangannya, alih-alih fokus pada isu yang lebih mendesak dan substansial bagi masyarakat.
“Masih banyak yang lebih penting untuk dipikirkan kepala daerah, ketimbang mengurusi hal yang sudah jelas pendelegasian kewenangannya,” pungkas Bastam, mengingatkan pentingnya fokus pada pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial.
Pemerintah Diam, Kontroversi Menguat
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kota Palopo belum memberikan klarifikasi resmi terkait polemik sentralisasi pencairan dana SP2D ini.
Sikap diam ini justru memperkuat kesan di kalangan legislatif bahwa kebijakan ini sarat kontroversi dan minim kajian hukum yang matang. Di internal DPRD, sikap anggota pun terbelah, meski mayoritas memilih menahan diri dan menunggu penjelasan resmi dari pihak eksekutif.
Buntu komunikasi dan penolakan terang-terangan dari anggota legislatif ini mengindikasikan bahwa polemik SP2D bukan hanya sekadar konflik teknis administrasi, melainkan awal dari ketegangan politik yang dapat menghambat efektivitas birokrasi Palopo ke depan.
Tanpa adanya klarifikasi hukum yang kuat dan memadai, surat edaran ini berpotensi menjadi “bom waktu” yang memperlambat laju pembangunan daerah.(***)











