PALOPO — Kasus Pilkada Palopo yang mendapatkan sorotan tajam dari Mahkamah Konstitusi (MK) atas kinerja Bawaslu dan KPU, memunculkan dugaan awal mengenai permasalahan yang lebih mendasar, yakni proses rekrutmen calon komisioner yang diwarnai “ordal” (orang dalam) dan pertemanan oleh panitia seleksi (pansel).
Dugaan ini mengindikasikan bahwa masalah kualitas SDM penyelenggara pemilu di Palopo tidak muncul begitu saja, melainkan berakar pada tahapan awal pembentukan komisioner. Jika benar adanya pengaruh “ordal” dan pertemanan dalam proses rekrutmen, maka ini dapat menjelaskan mengapa calon komisioner yang terpilih diduga kurang memiliki kompetensi dan integritas yang memadai.
Implikasinya sangat serius.
Komisioner yang terpilih bukan berdasarkan meritokrasi (kemampuan dan kualitas), melainkan karena dugaan koneksi.
Potensi konflik kepentingan dan keberpihakan bisa muncul karena adanya relasi personal.
Lemahnya pengawasan dan verifikasi terhadap syarat calon peserta pemilu, seperti yang disoroti Prof. Saldi Isra dari MK.
Merosotnya kepercayaan publik terhadap independensi dan profesionalisme lembaga penyelenggara pemilu.
Oleh karena itu, permasalahan ini bukan hanya tentang kinerja di lapangan, tetapi juga tentang transparansi dan akuntabilitas dalam proses rekrutmen. Perlu adanya audit menyeluruh terhadap proses seleksi komisioner Bawaslu dan KPU di Palopo, serta perbaikan sistem rekrutmen di masa depan untuk memastikan hanya individu yang paling berkualitas dan berintegritaslah yang menduduki posisi krusial ini.(***)