Morowali, Pamornews – Jelang pelaksanaan Konferensi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Morowali, isu ketidaktransparanan mengemuka. Panitia pelaksana diduga mengadakan rapat secara sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan seluruh anggota PWI. Praktik ini memicu kritik tajam dari sejumlah anggota yang merasa diabaikan.
Fausiah Wulandari Hafid, Kepala Perwakilan Koran Akselerasi Morowali dan Morowali Utara, menyesalkan sikap panitia yang dinilai tidak transparan. Ia mengungkapkan bahwa panitia hanya melibatkan segelintir orang dalam setiap rapat, sementara sebagian besar anggota PWI tidak dilibatkan.
“Panitia cenderung diskriminatif. Kami tidak diberi tahu jika ada rapat, hanya orang-orang tertentu saja yang diajak. Padahal, konferensi ini untuk memilih pengurus yang amanah dan bekerja ikhlas demi organisasi PWI yang kita cintai bersama,” ujar Fausiah, yang akrab disapa Uci.
Ia juga menyoroti pola komunikasi panitia yang dianggap tertutup. Dalam grup WhatsApp pengurus, hanya sebagian kecil anggota yang dimasukkan, meskipun jumlah anggota PWI di Morowali cukup banyak.
Menanggapi tudingan tersebut, Ketua Panitia Konferensi, Saiful, menyatakan bahwa langkah yang diambil panitia merupakan arahan dari PWI Cabang Sulawesi Tengah (Sulteng). Namun, pernyataan ini justru memicu keraguan dari beberapa anggota yang merasa tindakan tersebut tidak mencerminkan prinsip demokrasi dalam tubuh organisasi.
“Kami mempertanyakan alasan panitia yang hanya melibatkan sebagian kecil anggota. Seharusnya, sebagai organisasi wartawan yang menjunjung keterbukaan, semua anggota berhak mengetahui dan berpartisipasi dalam proses persiapan konferensi,” ujar salah satu anggota yang enggan disebutkan namanya.
Konferensi PWI Morowali sejatinya menjadi momentum penting untuk memilih pengurus baru yang diharapkan mampu membawa organisasi ke arah yang lebih baik. Namun, isu ketertutupan yang melibatkan panitia ini berpotensi merusak kepercayaan anggota terhadap proses demokrasi yang diusung.
Para anggota berharap panitia segera memperbaiki pola kerja mereka dan memastikan setiap anggota memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam persiapan konferensi. Prinsip keterbukaan dan demokrasi di tubuh PWI, menurut mereka, harus ditegakkan demi menjaga kredibilitas organisasi.
Issue tersebut menuai tanggapan juga dari Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Nasional yang dipimpin oleh Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, mengatakan bahwa lembaga yang sudah di cabut izinnya dari kementerian hukum dan HAM, seharusnya mereka bisa memahami tanggung jawab moralitas dan integritas di dunia jurnalistik Indonesia.
Organisasi yang dikenal vokal dalam mengawasi profesi jurnalistik ini menyerukan pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap kasus-kasus pelanggaran yang melibatkan wartawan dan pejabat birokrasi.
Wilson, yang merupakan alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 48 Lemhannas RI tahun 2012, mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi moral wartawan yang mulai tergerus oleh praktik hedonisme dan korupsi.
“Wartawan adalah mata dan telinga rakyat. Jika mereka telah dirusak oleh sifat hedonisme, korupsi, dan ketidakjujuran, maka sendi-sendi moral bangsa ini pun ikut hancur. Wartawan adalah pelita penerang suatu komunitas. Jika pelita ini dipadamkan, bangsa ini seperti kapal yang tenggelam dalam kegelapan, menabrak karang di lautan,” ujar Wilson Lalengke. (hfd/rls)