PALOPO – Posisi politik Walikota Palopo, Hj. Naili Trisal, kini menjadi sorotan utama. Walikota perempuan pertama di kota ini, bersama pasangannya Akhmad Syarifuddin Daud (Naili-Ome), dihadapkan pada kenyataan pahit di Gedung DPRD Palopo: mereka benar-benar terkepung.

Stabilitas pemerintahan lima tahun ke depan kini tergantung pada satu manuver politik yang berani dan penuh risiko.
Ganjalan 17 Kursi Oposisi
Koalisi pengusung Walikota Naili, yang terdiri dari Gerindra dan Demokrat, hanya berhasil mengamankan delapan kursi di DPRD Palopo. Angka ini jauh dari kata aman.
Total 25 kursi di parlemen dikuasai secara telak oleh kekuatan oposisi yang mencapai 17 kursi.
Kekuatan oposisi ini dibentuk oleh gabungan fraksi-fraksi besar seperti Nasdem, Golkar, PDIP, PKS, dan Hanura.
Dengan kekuatan sebesar ini, yang jauh melampaui batas minimum mayoritas (13 kursi), Walikota Naili praktis berada di posisi minoritas yang sangat rentan.
Kondisi ini menciptakan gonjang-ganjing politik yang tak terhindarkan. Setiap kebijakan eksekutif, mulai dari pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hingga mutasi pejabat strategis, berpotensi besar untuk diganjal atau dijadikan alat tawar politik oleh Fraksi Mayoritas.
Inilah yang membuat isu pergerakan politik Walikota kini menjadi konsumsi utama di setiap warung kopi dan menjadi fokus utama pemerintahan baru ini.
Manuver Penyelamatan: Melirik Gerbong Beringin
Di tengah himpitan politik tersebut, isu paling santer yang berembus adalah rencana Walikota Naili untuk merapat dan berlabuh di Partai Golkar.
Manuver ini adalah satu-satunya jalan keluar logis dari jurang minoritas.
Perhitungan politiknya sederhana namun dramatis. Jika Walikota Naili berhasil membawa delapan kursi pendukungnya (Gerindra dan Demokrat) bergabung atau berkoalisi dengan enam kursi milik Partai Golkar, maka kekuatan politiknya akan melompat tajam.
Membalikkan Peta Kekuatan Parlemen
Skenario penyatuan kubu Walikota dengan Golkar akan secara total membalikkan peta kekuatan di DPRD Palopo. Koalisi Walikota akan berubah menjadi kekuatan mayoritas dengan total 14 kursi (8 kursi pendukung Walikota + 6 kursi Golkar).
Kekuatan ini sudah lebih dari cukup untuk menguasai parlemen dan memastikan program-program eksekutif berjalan tanpa hambatan berarti.
Sebaliknya, blok oposisi yang tersisa (termasuk Nasdem, PDIP, PKS, dan Hanura) otomatis akan terlempar ke posisi oposisi minoritas dengan hanya 11 kursi.
Langkah strategis merangkul Golkar ini bukan sekadar upaya penyelamatan posisi Walikota Naili dari ancaman politik, tetapi juga tentang menciptakan stabilitas pemerintahan yang kuat dan efektif selama lima tahun ke depan.
Di Palopo, stabilitas kekuasaan harus diraih melalui strategi politik yang berani, bahkan jika harus merangkul lawan yang sebelumnya menjadi sumber ancaman utama.(***)











